Kewajaran selalu berubah

Ditransformasikan oleh rasa belas-kasihan, diri kita terbuka, terhubung kembali dengan cahaya semesta yang terus-menerus berubah.
Batas-batas kaku sirna, tembok-tembok remuk, memberi jalan bagi ketenteraman batin.

... Manfred B. Steger dan Perle Besserman; "Grassroots Zen."...


Kewajaran selalu berubah. Yang kemarin wajar memakai jas hujan pergi ke pasar, hari ini sudah tidak lagi wajar. Tidak ada satu patokan yang tetap dan pasti atas kewajaran —walaupun kita menginginkannya demikian— sejauh ia tak bisa dilepaskan dari kondisi yang senantiasa berubah. Bahkan, tak jarang suatu kondisi —katakanlah cuaca misalnya— bisa berubah secara sedemikian ekstrimnya, hanya dalam waktu relatif singkat. Badai, gempa, tzunami dan bencana alam lainnya merupakan contoh-contoh yang sangat tepat akan perubahan seperti itu, yang tidak memberi kita kesempatan untuk menyesuaikan-diri atau mengantisipasinya. Kalau saja tzunami di Aceh dan di Sumatera Utara serta tempat-tempat lainnya tidak mendadak seperti itu, sudah kita ketahui kalau akan terjadi jauh-jauh hari sebelumnya, tentu tak sedikit nyawa dan harta-benda yang bisa diselamatkan bukan?


Namun, sebagai suatu fenomena alam, itu wajar. Itu amat sangat alamiah. Perubahan sekonyong-konyong seperti apapun bagi alam, adalah wajar. Itulah kewajaran alami. Kita tidak bisa mengenakan kewajaran kita kepadanya. Kitalah —suka-tak-suka— mesti menyesuaikan-diri dengannya semampu kita. Setiap upaya untuk berdiri secara oposan terhadapnya, setiap upaya manantang apalagi menentangnya, bukan saja beresiko besar dan butuh daya dan dana yang tak sedikit, namun seringkali merupakan suatu tindakan "bodoh." Tapi anehnya, manusia suka melakukannya.


Kewajaran sosial —yang bertumpu kuat pada kondisi mental-psikologis dari para anggota masyarakat yang bersangkutan— juga demikian. Tidaklah terlalu melebih-lebihkan kiranya kalau dikatakan bahwa keberadaan umat manusia sampai detik ini, sebagai penghuni unggul dari planet ini, bertumpu kuat pada kemampuannya di dalam menyesuaikan-diri. Manusia bertahan hidup, salah satunya yang terpenting adalah, dengan menyesuaikan-diri. Mungkin sebagian besar jenis-jenis sains dan teknologi serta bentuk-bentuk peradaban yang dikembangkan umat manusia dipicu atau bermula dari upaya bertahan-hidup dengan cara menyesuaikan-diri dengan alam.


Dari titik-pandang ini, tampak jelas kalau satu-satunya kewajaran yang bisa dianggap sebagai benar-benar wajar adalah perubahan. Sebaliknya, menginginkan segala sesuatunya tetap ajeg, kekal-abadi, merupakan sebentuk penyimpangan dari kewajaran yang paling menyedihkan yang mungkin diperbuat manusia. Hanya bila kita bisa berubah, bisa menyesuaikan-diri, maka kita bisa hidup sewajar-wajarnya. Karena, perubahan terus-menerus itulah kewajaran. Hanya mereka yang "takut wajar" sajalah yang takut berubah.