Kenyataan bukan Kebenaran


Apa yang umumnya kita sebut sebagai kenyataan atau fakta hanyalah terbatas pada yang kasat-indria, sesuatu yang bersifat eksternal dan bisa dicerap lewat organ-organ indria sensorik —yang kita tahu amat sangat terbatas kemampuannya ini. Terlalu dangkal, dan terlalu besar kemungkinannya kalau pandangan kita tentang sesuatu itu salah atau keliru, bila kita hanya mengandalkan pada kemampuan organ-organ indria sensorik ini saja. Sehingga, apapun yang selama ini kita anggap dan sebut sebagai kenyataan atau fakta, besar kemungkinannya bukan kebenaran.

Belum lagi bila yang belum tentu benar itu dikacaukan oleh ikut-campurnya kecenderungan-kecenderungan dan kegandrungan-kegandrungan kita, oleh rasa sentimental kita, rasa suka-tak-suka kita. Tak sedikit dari kita cenderung memperhatikan sisi buruk atau lemah dari sesuatu yang tak kita sukai, yang tak sesuai dengan selera pribadi kita. Sebaliknya, terhadap sesuatu yang kita gandrungi, yang cocok dengan selera kita, kita akan memperhatikan sisi-sisi yang sebaliknya. Kecenderungan ini sangat kuat bagi kebanyakan dari kita, sehingga setiap penilaian kita terhadap sesuatu nyaris selalu diwarnai olehnya. Apapun yang dihasilkan oleh penilain subjektif ini, jelas bukan kebenaran.


Makanya menjadi jelas buat kita kalau, baik penilaian subjektif maupun objektif —yang bertumpu kuat pada kemampuan indriawi— sangat kecil kemungkinannya benar, bahkan besar kemungkinannya malah salah atau keliru. Padahal, demikianlah kita menilai segala sesuatunya selama ini. Apa artinya ini? Bukankah ini berarti bahwa apapun anggapan kita tentang sesuatu selama ini tidak bisa dibilang benar? Dan ini merupakan fakta otentik buat kita bukan? Bila memang demikian halnya, bila untuk hal-hal yang kasat-indria saja kita tidak mampu melihat kebenarannya, kesejatiannya, mungkinkah kita bisa melihat kebenaran dari sesuatu yang tidak kasat-indria, yang ada di balik dan melatari semua yang kasat-indria ini?