Ilusi Terbesar


Sesungguhnya, segala sesuatu hanyalah seperti apa adanya. Tidak lebih, tidak kurang. Ketika kita lebih menyukai sesuatu dibanding yang lainnya —atas alasan selera atau cita-rasa kita sendiri atau karena ia memberi kita kenikmatan, rasa senang, rasa puas sesaat— kita mulai memberinya predikat atau label “bagus”, “nikmat”, “indah”, atau sejenisnya. Demikian pula sebaliknya.

Terlepas dari apakah mereka memang bagus atau jelek secara objektif, kitalah yang melabelinya, memberinya predikat. Kita menumpangkan selera kita, menyelubungi segala sesuatu dengan tumpangan itu, dengan pertimbangan apakah ia memberi rasa senang atau tidak kepada kita. Alhasil, ia tak lagi seperti apa ia adanya bagi kita, ia menjadi ilusif. Kitalah yang menjadikannya ilusif. Bukan dianya yang adalah fatamorgana.

Memang ada hal-hal eksternal yang bersifat ilusif; seperti fatamorgana misalnya. Mereka memang berpotensi dan dengan mudah bisa mengecoh kita. Namun, bila kita tak sedemikian mudahnya dikecoh, bila kita tahu kalau itu hanya fatamorgana, kita tak akan pernah berhasil dikecohnya; walaupun segenap indria sensorik ini merasakannya demikian. Disini tampak jelas kalau kuku-kuku tajam ilusi hanya berhasil mencengkram mereka yang tidak-tahu, yang tidak berpengetahuan, tidak berpemahaman atau yang berpandangan sempit, dangkal, salah dan keliru akan sesuatu. Jadi sangat subjektif.

Prasangka misalnya; ia sangat ilusif, sejauh prasangka tetap ‘bukan yang ada’. Apapun prasangka kita tentang sesuatu atau seseorang bukanlah sesuatu atau seseorang itu seperti apa ia adanya bukan? Makanya, kecenderungan berprasangka merupakan sesuatu yang —secara internal— sangat ilusif, sangat mudah membuat kita terkecoh, terkelabui, tertipu. Kecintaan kita pada diri ini —atau yang juga disebut dengan rasa iba-diri— misalnya, bisa merupakan sesuatu yang luarbiasa ilusifnya. Bahkan, kita bisa dibuatnya bertindak tidak adil, berat sebelah, membela dan melindungi diri secara tidak proporsional, bahkan semena-mena terhadap orang atau makhluk lain. Kita bisa dibuatnya bertindak sedemikian kejinya, sedemikian tak berprikemanusiaannya.

Begitulah ... dalam banyak hal dan banyak kejadian kita temukan kalau egoisme merupakan ilusi terbesar bagi setiap orang. Ia bisa membuat kita berpikir, berbicara dan bertindak sama-sekali diluar akal-sehat, diluar pengetahuan yang sudah sedemikian banyak kita kumpulkan dengan bersusah-payah itu, diluar —apa yang kita anggap sebagai— pengalaman-pengalaman dan pencapaian-pencapaian spiritual kita.


Meditate on the Self. One without two, exalted awareness.Give up the illusion of the separate self.Give up the feeling, within or without, that you are this or that.

~ Ashtavakra Gita 1:13.