Ketulusan itu Mensucikan

Hanya memikirkan apa yang bisa diperoleh, tanpa pernah memikirkan apa yang bisa diberikan, memastikan kita jadi para pengemis, bahkan perampok di dunia ini.’ demikian kurang-lebih seorang ayah pernah menasehati putranya.

Kebanyakan dari kita umumnya tidak menyadari kalau ketika kita memperoleh sesuatu, sebetulnya boleh jadi kita telah memberikan banyak hal atau harus memberi yang setara; demikian pula sebaliknya, ketika kita memberi sebetulnya kita juga sudah, sedang dan akan menerima. Seperti semua tindakan lainnya, memberi dan menerima tunduk dan ada di wilayah ‘hukum kausalitas universal’. Artinya, tak seorangpun hanya memberi dan memberi tanpa menerima apapun —walaupun ia tak mengharapkannya— dan tak seorangpun bisa hanya menerima dan menerima saja tanpa diharus memberi —walau ia tak menginginkannya. Setiap pemberian mengundang penerimaan dan setiap penerimaan mensyaratkan pemberian.

Suatu pemberian atau persembahan yang tulus dengan sendirinya memperhalus dan meningkatkan mutu dari pemberian itu sedemikian rupa sehingga mengundang penerimaan yang lebih halus dan lebih berkualitas pula. Pada dasarnya, ketulusan atau ketanpa-pamerihan inilah yang mensucikan setiap pemberian, ketulusan atau ketanpa-pamerihan inilah yang menjadikan setiap persembahan menjadi sebuah korban-suci. Dan, kalau kita memang jujur, kita tahu kapan kita memberi dengan tulus-ikhlas dan kapan kita memberi dengan pemerih. Makanya, boleh jadi sekulum senyum yang tulus jauh lebih bernilai ketimbang sekeranjang sembako.

" Not is it so remarkable that our greatest joy should come when we are motivated by concern for others. But that is not all. We find that not only do altruistic actions bring about happiness but they also lessen our experience of suffering."