Mengapa Mudah Percaya?


If you see certainty in that which is uncertain,you are bound to suffer...

Adalah penting punya sebentuk kepercayaan tertentu, sebab tanpanya boleh jadi kehidupan terombang-ombing tanpa arah dan tujuan. Namun pada saat yang bersamaan, adalah penting juga untuk menyisakan seporsi rasionalitas untuk bisa memilah dan memilih dengan tepat hal-hal yang patut dan yang tidak patut untuk dipercaya.


Kepercayaan punya pengaruh emosional yang sangat kuat bagi penganutnya. Pengaruh emosional inilah yang sangat potensial memborong dan memenuhi segenap khasanah mental seorang penganut hingga tak menyisakan ruang sedikitpun bagi bekerjanya rasio, akal-sehat. Bahkan konyolnya lagi, tidaklah aneh buat yang bersangkutan untuk menyatakan kalau penyikapan emosional itulah yang paling rasional untuk diberikan kepada yang ia percayai itu.

Singkatnya, kebanyakan dari kita umumnya sangat rentan untuk disergap dengan mudah oleh fanatisme. Jangankan terhadap sebentuk ajaran agama tertentu misalnya, tak sedikit orang-orang fanatik yang hanya mau mengenakan pakaian dengan merek-merek tertentu, atau dengan desain tertentu saja. Betapa konyolpun ini bagi kita, demikianlah fakta yang terlihat di sekeliling kita bukan?

Akan tetapi, marilah kita lihat lagi ‘mengapa kita mempercayai sesuatu dan tidak yang lainnya’. Kalau kita mempercayai sesuatu hanya lantaran banyak orang di sekitar kita yang mempercayainya dan takut ditolak oleh lingkungan kalau tidak ikut mempercayainya, maka itu hanyalah kepercayaan ikut-ikutan yang sangat rapuh dari segala sisi. Ini sama rapuhnya dengan, kalau kita percaya hanya sebagai kepercayaan warisan karena para orangtua dan banyak pendahulu kita juga mempercayai dan menganutnya. Kalaupun kita mempercayainya lantaran kita merasa aman dan nyaman –yang sebetulnya tidak selalu bisa dipertahankan selama-lamanya— bila berada di dalamnya, ini masih sangat rapuh juga. Ketika —karena sesuatu hal— kedua rasa itu pergi –karena ia memang tak mungkin dipertahankan terus— kitapun akan dengan ringannya pergi meninggalkan kepercayaan itu. Beda halnya dengan, bila kepercayaan itu memang terasa cocok dan memenuhi tuntutan rasionalitas Anda. Apalagi bila ia juga memberi kepastian akan tercapainya tujuan hidup Anda.

Bagi manusia moderen, yang mau-tak-mau mesti mengedepankan rasionalitas dan tak semata-mata harus tunduk begitu saja pada gelora emosi, adalah penting dan mendesak buat mempertanyakan kembali: mengapa ia mesti mempercayai sesuatu dan tidak yang lainnya?
Secara rasional, kita percaya pada sesuatu kalau sesuatu itu bisa memberi cukup bukti. Dan bukti, tidak selamanya harus berupa bukti fisikal atau sesuatu yang bisa dicerap oleh indria sensorik yang terbatas ini. Ia bisa juga berupa bukti mental, yang bisa dicerna oleh akal-sehat kita, atau bahkan bukti spiritual yang tak bisa dipersepsi oleh indria dan sulit diterima akal.

Yang terakhir inilah seringkali dikacaukan oleh ulah emosi. Banyak orang menyangka kalau mereka mempercayai sesuatu atas alasan spiritual, padahal itu sebetulnya hanyalah atas alasan emosional saja. Orang yang sedemikian kharismatiknya misalnya, akan mudah dipercayai oleh banyak orang hanya lantaran gelora emosi yang mampu dibangkitkan melalui kharismanya itu.

Yang demikian tak jauh bedanya dengan orang-orang yang menguasai hipnotisme atau sulap. Dan sekali lagi, ini bukanlah bukti spiritual. Dalam kenyataannya, lebih banyak orang hanya menumpukan kepercayaannya pada bukti fisikal saja, ditambah campur-tangan emosi atau tidak.