Despiritualisasi sistematis

Untuk bisa menggunakan sebuah alat dengan baik, kita sekurang-kurangnya mesti mengetahui ‘apa’ alat itu, spesifikasi teknisnya, kekuatan dan kelemahannya, kelebihan dan kekurangannya; pendeknya segala sesuatu yang menyangkut alat itu bukan? Tapi, kebanyakan dari kita umumnya tidak cukup sabar dan ingin cepat-cepat bisa menggunakannya. Alih-alih mempelajari ‘apa’ ia adanya, umumnya kita langsung bertanya: “Bagaimana cara menggunakannya?”. Akibatnya, bukan saja banyak sandungan di jalan yang mesti kita alami sehingga banyak waktu dan enerji yang terbuang percuma tidak semestinya, kita malah merusak alat itu tanpa berhasil menggunakannya untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar berarti, yang sesuai dengan peruntukan dari alat itu sendiri.

Ini pulalah — tidak cukup sabar dan ingin cepat-cepat bisa— yang menjadi batu-batu sandungan internal dari seorang yang berminat untuk menekuni suatu jalan spiritual tertentu. Akibatnya, seperti yang dapat langsung kita amati, teramat banyak yang ‘mundur di tengah jalan’, tidak memperoleh kemajuan berarti walaupun telah menekuninya selama bertahun-tahun, frustrasi dan mengatakan kalau apa yang ditekuninya selama ini tidak menghasilkan apa-apa, atau malah sesat.

Walaupun memang benar kalau usia tidak bisa diterka, sehingga apa yang bisa diselesaikan menit ini sebaiknyalah kita selesaikan menit ini juga, namun itu tidak semestinya membuat kita selalu terburu-buru, tidak sabaran, dan ingin cepat-cepat bisa —terlebih lagi di dalam berjalan di jalan yang satu ini. Rentang waktu yang telah dilalui didalam menekuninya, tidaklah menjamin seorang penekun mencapai suatu jenjang atau keakhlian tertentu, layaknya di dalam menuntut ilmu di dunia sekuler. Sekulerisme besar-besaran —yang diawali di dunia Barat sejak beberapa abad belakangan itu— yang telah sedemikian meluasnya di dunia sekarang ini, punya andil yang luarbiasa signifikan di dalam membentuk pola-pikir kolektif, bahkan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.

Dan, saking terpolakannya kita, kita malah tak segan-segan menjatuhkan tuduhan sebagai takhyul, klenik, atau sejenisnya, terhadap setiap hal yang berhubungan dengan spiritual. Kita telah membuat sebentuk pemisahan tegas antara sekulerisme dengan spiritualisme. Atau setidak-tidaknya, kita menuntut dunia spiritual agar bisa membahasakan dirinya lewat gramatika sekuler sehingga bisa dijelaskan, dipelajari dan dimengerti, bahkan dibuktikan secara ilmiah. Dan lucunya, banyak penekun spiritual yang berusaha keras menanggapi tuntutan ini, sampai pada batas-batas ‘pemerkosaan’, melalui jargon ‘membumikan’ spiritualisme.

Namun apa yang terjadi? Bukan saja penyimpangan-penyimpangan, bias-bias disana-sini, ‘penyesatan’-pun sepertinya tiada terelakkan. Sekulerisme adalah saudara dekat dari materialisme, tampak bahwa tak sedikit orang yang tampak dengan gigihnya melakukan upaya “despiritualisasi” —dengan cara mematerialisasikan spiritualitasnya— secara sistematis. Gejala mengglobal ini tampak kian niscaya di berbagai pojok bumi akhir-akhir ini. Adakah ini pertanda dari kesurutan spiritualisme dan spiritualitas umat manusia itu sendiri? Adakah ini pertanda dari akan kian mendominasinya materialisme di muka bumi ini? Entahlah …..