Siapa takut menderita ?


Adanya rasa takut, apapun bentuk ketakutan itu, merupakan salahsatu ciri utama dari penderitaan. Kita tahu, tergantung apa yang ditakuti, ketakutan bisa mengambil banyak bentuk: takut pada kematian, takut kehilangan, takut terabaikan atau disepelekan, takut sakit, takut dilukai atau disakiti, takut tidak dihargai, takut sendirian, takut diremehkan, takut terlahir kembali di alam penderitaan ini dan seterusnya ...., yang pada intinya adalah takut menderita.

Tak pelak lagi, penderitaan hidup merupakan momok yang sangat menakutkan bagi kita; dimana, kalaupun mesti dilahirkan kembali sebagai manusia, kita berharap agar terlahir sebagai manusia yang tidak menderita bukan?

Takut menderita adalah salah satu ciri utama dari penderitaan hidup kita. Sekarang marilah kita lihat ‘siapa’ sebetulnya ‘yang takut’ itu? Kita tahu kalau ‘rasa takut’ itu sendiri adalah sebentuk emosi, sebentuk perasaan. Ia berada pada tataran mental-psikologis (mind) kita. Tataran fisikal-biologis (body) ini, tubuh ini sendiri —termasuk kesepuluh organ indria sensorik serta motoriknya— tidak pernah mengenal apa itu takut. Ia tidak punya rasa takut. Tataran mental-psikologis inilah yang punya rasa takut bukan?

Nah ... lebih luas lagi, apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘diri’ kita umumnya adalah kedua tataran ini —tataran fisikal-biologis dan mental-psikologis. Si ‘diri’ —yang kita sebut sebagai ‘aku’— inilah yang merasa takut itu bukan? Padahal, kita tahu kalau keberadaan kita secara utuh tidaklah hanya terbatas pada kedua tataran itu saja. Ada tataran yang lebih halus dan lebih dalam lagi —yang sangat jarang kita sadari keberadaannya di dalam keseharian kita— yang kita sebut dengan tataran spiritual (soul), tataran rokhani, yang —dalam konteks ini— sangat mirip dengan tataran fisikal-biologis, yakni tidak mengenal rasa takut. Jadi sebetulnya, dua tataran dari tiga tataran yang ada, yang membentuk rasa keberadaan kita ini, tidak mengenal apa itu takut. Namun secara faktual, kita lebih sering dicengkeram rasa takut —yang notabene hanya berbobot sepertiga dari keseluruhan keberadaan kita. Kenapa?

Bukankah dapat dinyana —serta secara faktual dirasakan— kalau selama ini dalam keseharian kita kita rupanya memberi bobot terlalu besar kepada yang hanya sepertiga ini saja, memberi bobot terlalu besar kepada tataran mind saja? Fakta ini, bukan saja telah menghadirkan rasa takut —yang bahkan seringkali sedemikian mencekamnya, dan menjadi motivasi dasar dari seluruh tindakan kita di dalam menjalani kehidupan ini— namun juga telah membuat kita merasa menderita, membuat kita berpikir bahwa hidup ini adalah rangkaian dari berbagai bentuk penderitaan.