Kesederhanaan Hati


Kesederhanaan hati jauh lebih penting dan lebih signifikan ketimbang kesederhanaan pemilikan. Merasa cukup hanya dengan sedikit barang-barang secara komparatif merupakan hal yang lebih gampang. Melepas kenyamanan, atau berhenti merokok dan menghentikan kebiasaan-kebiasaan lain, tidak mengindikasikan kesederhanaan hati.

Ada seseorang yang melepaskan dunia dan hal-hal duniawi, namun nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan lainnya melahapnya; ia mengenakan jubah biarawan, akan tetapi ia tak mengenal kedamaian hati. Matanya selalu mencari-cari kesana-kemari, dan batinnya penuh dengan keraguan serta pengharapan.

Anda mengukur kemajuan dari pencapaian Anda berdasarkan standar-standar kebaikan ini: seberapa Anda telah berhenti ini dan itu, seberapa terkendali prilaku Anda, seberapa toleran dan baik-hati Anda, dan sebagainya ... dan sebagainya. Andapun telah belajar seni berkonsentrasi, dan Andapun menarik-diri dan masuk hutan, masuk biara atau masuk sebuah kamar gelap untuk bermeditasi; Anda melewati hari-hari Anda dalam persembahyangan dan kehati-hatian. Ke luar, Anda telah membuat kehidupan Anda sederhana, serta melalui perencanaan yang dipikirkan dan diperhitungkan matang-matang Anda mengharapkan kebahagiaan yang tidak berasal dari dunia ini.

Akan tetapi, apakah kesujatian dicapai melalui pengawasan dan sangsi-sangsi eksternal? Kendati kesederhanaan luar, menyingkirkan kenyamanan benar-benar perlu, tapi akankah prilaku ini membuka pintu kesujatian? Terbenam di dalam kenyamanan dan sukses memang membebani batin dan hati, makanya kita mesti bebas untuk bisa melakukan perjalanan (spiritual), namun kenapa kita terlalu menekankan pada prilaku yang tampak dari luar? Mengapa kita sedemikian berhasratnya untuk memberi kesan-kesan luar akan apa yang sedang kita lakoni, yang kita tuju? Apakah ini bukan penipuan-diri berupa ketakutan terhadap apa yang dikatakan orang-orang tentang kita? Mengapa kita merasa perlu untuk menyakinkan diri kita akan integritas kita? Bukankah semua masalah ini berlandaskan pada keinginan untuk bersungguh-sungguh, untuk diyakinkan akan kepentingan kita ‘untuk menjadi’?

Keinginan menjadi’ ini merupakan awal keruwetan. Dikendalikan oleh ‘keinginan menjadi’ yang terus-menerus kian meningkat ini, baik ke luar maupun ke dalam ini, kitapun mengumpulkan atau melepas, menanam atau menyangkal. Melihat kalau waktu mencuri segalanya, kitapun melekat pada yang abadi. Perjuangan ‘untuk menjadi’ ini —apakah secara positif ataukah negatif, apakah melalui kemelekatan ataukah ketidak-melekatan— tidak akan pernah bisa dipecahkan melalui tingkah-laku ke luar manapun, melalui disiplin atau latihan manapun; akan tetapi memahami adanya perjuangan ini akan menghadirkan —secara alamiah dan spontan— kebebasan dari pengumpulan ke luar maupun ke dalam berikut berbagai konfliknya.

Kesejatian tidak diraih lewat ketidak-melekatan; ia tak dicapai melalui cara apapun. Semua cara dan akhir hanyalah bentuk lain dari kemelekatan, dimana mereka mesti sirna demi hadirnya kesejatian.