Takut Kehilangan Eksistensi

Hanya yang telah menemukan kesejatian sajalah yang mungkin mendatangkan kebaikan dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat manusia dan dunia...


Kalau bukan yang utama, maka salah satu hal yang membuat orang takut meninggalkan kehidupan duniawi adalah takut kehilangan eksistensi di dalam lingkungan sosialnya. Akibatnya, masa pensiun —yang sebetulnya merupakan masa yang paling sesuai untuk itu— paling-paling hanya dimaknai dan diterapkan sebagai masa dimana tidak lagi melangsungkan kegiatan ekonomis-produktif seperti sebelumnya. Bukan saja banyak yang setelah mencapai usia pensiun masih juga bergiat di bidang ekonomis-produktif, namun banyak juga yang berkilah: “Bagaimana mungkin meninggalkan kehidupan duniawi sementara kita masih hidup di dunia ini?”

Eksistensi merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kebanyakan orang. Orang bisa mengorbankan banyak hal demi eksistensi ini, karena di dalamnya juga ada penghargaan. Seseorang yang benar-benar eksis di lingkungan sosialnya juga dihargai oleh lingkungannya. Secara emosional, orang hanya merasa berharga bila dihargai, bila ada yang menghargai. Thus, penghargaan merupakan kebutuhan mental manusia. Tanpanya, manusia merasa kosong, merasa tidak berarti. Oleh karenanyalah, kehilangan eksistensi merupakan sesuatu yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Fenomena yang disebut dengan “post power syndrome” mengakar disini.

Namun, benarkah ‘meninggalkan kehidupan duniawi’ juga berarti kehilangan eksistensi sosial? Ternyata tidak. Anggapan itu samasekali keliru, tidak benar. Anggapan itu muncul dari anggapan keliru bahwasanya lingkungan sosial hanyalah lingkungan konvensional —yang penuh aktifitas fisikal dan mental, yang penuh gejolak dan gelora emosi— seperti yang kita kenal selama ini. Bahkan lebih sempit lagi, lingkungan sosial menurut sangkaan banyak orang hanyalah sebatas lingkungan sosial-ekonomis, dimana seseorang hanya dihargai bila ia menguasai banyak harta-benda atau dianggap punya nilai ekonomis yang tinggi lantaran profesi, keakhlian atau jabatan bisnisnnya. Kalaupun mereka masih mengenal slogan ‘manusia sebagai makhluk sosial’, maka yang mereka maksudkan hanyalah ‘makhluk sosial-ekonomis’. Makanya, dapatlah dimengerti mengapa sekarang ini orang-orang kaya ‘dirajakan’ dan uang ‘didewakan’.

Kehidupan duniawi memang dicirikan oleh dua tujuan utama: penguasaan harta dan pemuasan hawa-nafsu. Mereka beranggapan, dengan menguasai banyak harta mereka bisa membentengi dirinya dengan bangunan dan berbagai peralatan canggih, bisa menggaji pengawal atau tentara bayaran, mereka tak perlu merisaukan yang berkaitan dengan sandang, pangan, papan, obat-obatan dan kebutuhan fisikal lainnya. Secara keseluruhan, dengan menguasai harta mereka berharap bisa memperoleh rasa aman. Dengan menguasai harta pula mereka berharap bisa menikmati apapun yang mereka inginkan —termasuk di dalamnya: pangkat, jabatan, bahkan pengaruh dan penghormatan di masyarakat, ketenaran, kenikmatan dan pemuasan hawa-nafsu indriyawi, kemewahan dan kelimpahan materi, perlakukan bak seorang raja (eksistensi yang paling utama di dunia ini), dan sejenisnya— sehingga bisa menikmati kenyamanan. Kedua rasa ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Pemburuan terhadap kedua rasa inilah yang menjadi pokok perburuan serta mengisi segenap urusan yang ada di dalam kehidupan duniawi.

Namun, kalau saja kita sempat merasakan hanya secuil saja daripadanya untuk kemudian digunakan bahan perenungan, akan tampak jelas betapa kelirunya sangkaan ini. Apapun yang bisa diberikan dari penguasaan harta hanya bersifat sementara dan bersyarat. Tidaklah ada jaminan kalau harta itu bisa kita kuasai selama-lamanya. Kalaupun ia kita kuasai cukup lama, ia tetap tidak menjamin rasa aman; jangan-jangan malah membangkitkan kekhawatiran dan takut kalau-kalau ia segera habis, hilang, rusak atau sejenisnya. Penguasaan banyak harta ternyata juga bukan syarat satu-satunya dan otomatis guna bisa menikmati kenyamanan yang diidamkan. Kalau Anda sedang gundah atau sakit misalnya, bentuk-bentuk kenikmatan indriawi apapun tidak akan ada artinya buat Anda bukan? Semua itu semu sifatnya. Semua itu hanyalah sangkaan kita saja, karena kita menggandrungi dan mendambakannya.

Eksistensi yang berlandaskan, berkaitan dan bertumpu pada kesemuan —yang membuat kita sangat takut kehilangannya dengan meninggalkan kehidupan duniawi— tentu semu juga adanya. Dan ironisnya, saking takut kehilangan yang semu kebanyakan dari kita malah menghindari yang sejati.