Tak Kenal Maka Tak Benci

Menuruti berbagai keinginan —baik yang bersifat fisikal maupun mental— hanya akan mempergemuk dan memperkuat egoisme. Menurutinya tak-ubahnya juga memberinya pupuk. Berbagai hasrat dan keinginan inilah yang membentuk kegandrungan serta mengundang berbagai bentuk pemikiran yang tiada terpisahkan dengan berbagai bentuk perasaan.

Tapi, darimanakah datangnya keinginan ini? Mengapa kita menginginkan sesuatu dan tidak atau menolak yang lainnya? Mengapa sesuatu lebih mengundang selera dan hasrat, sementara yang lainnya tidak? Darimanakah semua ini datangnya? Pernahkah Anda mempertanyakan hal ini? Bila belum, mari kita pertanyakan.

Kita tidak akan pernah menginginkan atau punya hasrat yang kuat untuk menghindari sesuatu yang tak pernah kita kenal, tidak pernah mengadakan kontak dengannya —baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara fisikal-indriawi maupun mental-psikologis— bukan? Kesan-kesan baik, yang menyenangkan atau yang sebaliknya, yang timbul saat terjadinya kontak-kontak pengenalan inilah pemicunya.

Kendati kita tak pernah mengadakan kontak langsung dengan seseorang atau sekelompok orang, dengan bangsa Yahudi misalnya, akan tetapi bila dari berbagai siaran di berbagai stasiun televisi terus-menerus kita dengar kekejian mereka kepada orang-orang Palestina —apalagi bila kita merasa sesama umat Islam— maka kita akan terpicu untuk ikut-ikutan membenci bangsa Yahudi. Dan kalau kita kemudian berkesempatan berkenalan dengan beberapa orang Yahudi yang ternyata baik, anggapan kita sebelumnya bisa jadi berubah drastis.

Kalau kita punya pepatah “Tak kenal, maka tak sayang”, maka kitapun sepantasnya punya pepatah “Tak kenal, maka tak benci”, sejauh kita tak akan pernah bisa membenci yang sama-sekali tidak kita kenal.

Demikianlah, kontak langsung maupun tak-langsung besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan keinginan, hasrat, selera, kegandrungan atau yang sejenisnya. Dan jika membatasi kontak, atau membentuk sejenis filter yang berfungsi menyaring hal-hal yang diperkenankan masuk sedemikian dalamnya dan yang mana tidak, yang secara faktual adalah mungkin, bukankah tidak ada jeleknya bila itu dilakukan?


Kutukan egoisme memicu perbuatan-perbuatan, keinginan-keinginan dan kepedihan. Ia merupakan sumber dari segala bentuk kejahatan. Ia adalah ilusi. Ia mengecoh orang-orang. Ia bersekongkol dengan rasa-kepemilikan. Ia lahir dari atau merupakan kegelapan-batin. Ia muncul dari pandangan keliru.....