Adakah Kasih di hati kita?

" I believe that the practice of compassion and love

—a genuine sense of brotherhood and sisterhood—

is the universal religion.

It does not matter whether you are Buddhist or Christian,

Moslem or Hindu, or whether you not practice a religion at all."



[ Dalai Lama XIV ]


Anda bisa saja membenci suatu kejadian atau pengalaman tertentu di dalam kehidupan Anda; tetapi bisakah Anda membenci kehidupan ini sendiri lantaran ia terasa menyengsarakan, terasa tidak bersikap adil terhadap Anda dan seringkali mengecoh Anda?

Anda bisa saja merasa tidak nyaman akan kehidupan yang sedang kita jalani ini, merasa disengsarakan oleh kehidupan ini, merasa diperlakukan tidak adil, tapi tetap Anda tidak bisa membencinya karena, bagi Anda, Andalah kehidupan Anda itu. Kecuali seseorang sudah sedemikian stresnya, hingga nyaris kehilangan ingatan, maka ia bisa membenci dirinya sendiri.

Cinta bisa saja merupakan lawan benci, tapi kasih tak pernah merupakan lawan benci. Kita bisa saja sekarang membenci seseorang atau sesuatu yang pernah kita cintai, namun kita tak akan pernah bisa membenci sesuatu atau seseorang yang pernah kita kasihi. Bahkan ungkapan seperti itu, ungkapan 'yang pernah kita kasihi' itu, kurang tepat. Sejauh dalam ungkapan itu sendiri terkandung kemungkinan 'tidak mengasihi lagi'. Padahal, sekali kita mengasihi sesuatu atau seseorang, kita akan mengasihinya selamanya, seumur-hidup.

Setiap orang mencintai dirinya sendiri; dan ini merupakan sesuatu yang instingtif. Kalaupun seseorang tampak tidak begitu menyukai alur kehidupan yang sedang dijalaninya sekarang ini, tidaklah berarti ia tidak mencintai atau membenci kehidupannya sendiri karena dialah kehidupannya itu. Ketidak-sukaannya pada alur kehidupannya justru dipicu oleh rasa iba-diri yang mengakar kuat pada kecintaan pada kehidupan berjasad ini. Rasa iba-dirinya tak mau menerima kalau si diri ini mengalami penderitaan, dan sebaliknya akan dengan senang-hati berusaha memberinya yang terbagus —yang belum tentu berarti yang terbaik—, yang paling menyenangkan, yang paling memberi kenikmatan, kenyaman, ketenteraman; pendeknya yang —menurut kita— membahagiakan. Daripadanya, juga muncul prilaku 'pemanjaan-diri'. Secara naluriah, kita cenderung memanjakan yang kita cintai bukan?

Mengasihi tidak seperti itu. Kita memang bisa sedemikian mencintai kehidupan kita sendiri, tapi kita tidak bisa hanya mengasihi kehidupan kita ini saja. Mengasihi sesuatu tindakan universal; ia tidak bisa dibatasi hanya dalam satu sosok individu atau pribadi tertentu saja. Kalau mencintai bersifat individual atau personal, maka mengasihi bersifat universal. Saya memang bisa mengatakan kalau saya mencintai kehidupan saya ini, tapi tidak bisa mengatakan kalau saya mengasihi kehidupan saya; saya hanya bisa mengatakan kalau saya mengasihi kehidupan semua makhluk-hidup. Karena tindakan mengasihi ini sedemikian universalnya, dan tentu saja bukan sesuatu yang bersifat instingtif. Makanya, dalam mengasihi tidak akan pernah ada pemanjaan. Kita memang bisa memanjakan yang kita cintai, namun kita tak akan tega memanjakan yang kita kasihi.


Nah ... saat ini, adakah kasih di hati kita?