Lahir sebagai Ulat,Mati sebagai Kupu-kupu

Change is the law of life.
Truth is the law of life.
Love is the fulfilling of the law of life.
Death is the gate to another life.
Life is endless.

~ Sri Swami Sivananda Sarasvati ~

Proses metamorfosis yang dialami oleh sebutir telor kupu-kupu sampai dengan menjadi kupu-kupu sungguh menakjubkan. Ia acapkali juga digunakan secara analogis di dalam mengilustrasikan pendakian dari seorang pejalan di jalan spiritual. Seorang pejalan di jalan spiritual lahir sebagai ulat yang menggelikan namun mati sebagai kupu-kupu yang indah.


Di dalam telur kupu-kupu, tersimpan calon kupu-kupu, tersimpan segala potensi dan kapasitas untuk jadi seekor kupu-kupu indah; bukan sekedar calon ulat, yang nantinya mati hanya sebagai seekor ulat saja. Menetasnya ulat dari telor, hanyalah salahsatu tahapan yang mesti dilalui dalam proses panjang yang menakjubkan, yang disebut dengan metamorfosa ini. Semasih berwujud ulat, memang kerjanya hanya makan dan makan saja sepanjang hari. Namun, kalau ia tidak terlalu malang, si ulat tidak berhenti hanya sampai sebagai ulat saja seumur-hidupnya. Walaupun sama-sama berwujud ulat, ia tidak bisa dipersamakan dengan cacing-tanah. Ia ulat calon kupu-kupu yang indah.


Menyudahi status ulatnya, ia berhenti makan, berhenti kelayapan kesana-kemari mencari makan. Ia diam. Tak jauh bedanya dengan semasih sebagai sebutir telor. Mati sebagai ulat, ia tidak lagi si ulat. Si ulat sudah almarhum. Yang ada kini adalah sebuah kepompong. Selama ngepompong, ia kembali diam berkepanjangan, beku, sunyi, seakan-akan tanpa kehidupan sama-sekali. Padahal, saat itu sedang berlangsung kerja dahsyat yang amat menakjubkan. Inilah bekerjanya diam. ‘Kerja-diamnya’ ini sebetulnya serupa dengan kerja-diam yang juga pernah dilasungkannya ketika masih bewujud sebutir telor. Walaupun sesama kerja dan sama-sama diam, mereka tidak bisa dipersamakan, sejauh fase serta yang dihasilkan dari kerja-diam masing-masing berbeda. Diamnya kepompong teramat halus, namun luarbiasa aktif, dahsyat.


Kalau kerja-diam itu sendiri kita analogkan dengan tapa-brata —yang dilangsungkan oleh seorang penekun spiritual, maka tapa-brata dari seorang penekun pemula dengan penekun lanjut akan kelihatan sangat mirip. Tapi, tapa-brata pemula hanya mengantarkannya menjadi “ulat” —yang makan saja seumur-hidupnya. Dibandingkan sebuah “kepompong”, si ulat memang tampak jauh lebih lincah —kesana-kemari dan siang-malam mencari makan, seakan-akan tak penah kenyang. Tapi semua itu hanyalah pengumpulan bekal untuk “mati”, untuk berdiam diri —“ngepompong”.


Diamnya “kepompong” —yang sangat mirip dengan diamnya telor itu— bukan lagi tapa-brata, melainkan yoga-samadhi. Diam dalam yoga-samadhi inilah yang menjadikannya “seekor kupu-kupu yang indah” itu. Kini, si calon telah menjadi yogi sempurna. Tidak lagi “merayap” kian-kemari seperti sebelumnya yang tampak menggelikan itu. Kini ia ‘terbang”. Tidak hanya makan “dedaunan” atau sejenisnya, seperti sebelumnya, kini ia mengisap “sari-sari bunga dan madu”. Bila tiba saatnya nanti, iapun akan menghasilkan banyak “telor-telor baru”, “para calon kupu-kupu indah baru” sepanjang hayatnya. Yang pasti, walau dulu ia terlahir sebagai seekor “ulat” yang menggelikan, ia akan mati sebagai seekor “kupu-kupu indah” yang telah melahirkan banyak “kupu-kupu indah baru”.