Terang bukan lawan Gelap

Terang bukan lawan dari gelap; terang tidak bertentangan —apalagi bermusuhan—dengan gelap. Kitalah yang memposisikan mereka demikian; kitalah yang menempatkannya sebagai oposan satu dengan yang lainnya. Padahal adanya terang dan gelap hanya lantaran kita membutuhkannya. Kita membutuhkannya bukan secara fisikal saja, kita juga membutuhkannya secara mental, di dalam mendidik dan menggembleng mental kita.


Tanpa adanya gelap, kita tak pernah akan bisa menghargai terang. Tanpa adanya kebodohan dan ketidak-tahuan, kita tak akan bisa menghargai pengetahuan itu. Tanpa adanya yang buruk, kita tak akan pernah bisa menghargai yang baik itu. Demikianlah, kontroversi di dalam dualisme itu mendidik dan menggembleng mental kita, mematangkannya, membimbing kita pada sesuatu yang lebih dan lebih hakiki lagi.


Seperti juga kita membutuhkan terang untuk bisa melihat dengan jelas, kita juga butuh gelap untuk tidur atau di ruang mencetak foto. Kita tak bisa hanya mencintai terang, dan oleh karenanya memusuhi gelap. Ketika kita menginginkan sesuatu, maka kita menganggap sesuatu itu baik, bahkan yang terbaik, dan memposisikan yang kita anggap berlawanan dengannya sebagai buruk, jelek.


Adanya baik-buruk, bagus-jelek, menyenangkan-menyedihkan dan sejenisnya, hanya lantaran kita, hanya bentuk-bentuk penilaian kita. Bentuk-bentuk penilaian subjektif itu muncul dan bekerja karena kita masih menganut ‘faham’ cinta-benci, suka-tak-suka. Padahal segala sesuatunya tidaklah baik ataupun buruk, bagus ataupun jelek, menyenangkan ataupun menyedihkan; segala sesuatunya hanya ‘apa adanya’.



‘Faham’ yang sama ini jualah yang membentuk ‘selera’ kita. Ketika kita berbicara masalah ‘selera’, maka kita sudah bicara masalah yang bersifat amat-sangat relatif. Setiap orang punya ‘selera’ sendiri-sendiri, yang bisa saja mirip, namun bisa juga sangat jauh berbeda.


Dan ‘faham’ ini juga telah melahirkan kebiasaan untuk mempertentangkan segala sesuatunya. Pria yang sebetulnya adalah pasangan wanita misalnya, kita sebut sebagai berlawanan jenis; kanan yang sebetulnya adalah pasangan dari kiri misalnya, juga kita posisikan sebagai berlawanan; banyak lagi contoh-contoh yang bisa disebutkan untuk itu. Menganut ‘faham’ ini tak pelak lagi telah melahirkan kebiasaan mempertentangkan segala sesuatunya pada kita.


Demikian juga halnya dengan kebenaran-duniawi, yang bersifat amat sangat relatif. Kebenaran-duniawi sangat bergantung kepada desa-kala-patra, kepada ruang, waktu, pelaku dan penilainya serta segenap kausasi terkait dengannya. Walapun pikiran, perasaan dan akal-budi bisa menerimanya sebagai sebentuk kebenaran, ia tetap bukan kebenaran-absolut. Ia jelas tidak mengindikasikan sesuatu yang absolut.



Oleh karenanya, ia hanya bisa dipegang hingga tataran kesadaran tertentu saja. Ia tak mampu melewati tataran kesadaran itu. Bagi seorang pendaki rohani, selalu akan tiba saatnya untuk menanggalkan dan meninggalkan ‘faham’ itu. Ia tidak bisa dibawa-bawa di dalam pendakian menuju Yang Absolut. Ia bahkan hanya akan menjadi penghalang bagi aktivitas pendakian.


Manakala Anda sudah mulai bisa melihatnya sebagai pasangan, dan tidak lagi sebagai lawan, Anda mulai bisa menyatukannya —yang berarti leburnya dualisme itu oleh api viveka. Dan oleh karenanya, Anda akan segera melihat Kesejatian, Kenyataan dari segala sesuatu.