Mencari kebahagiaan di luar...

Lebih baik meraba-raba di dalam kegelapan dan menyeberangi sejuta kesalahan menuju Kebenaran ketimbang mempercayakan diri kepada seseorang yang 'tidak sadar kalau ia tidak tahu'. ~ M. K. Gandhi ~

Setidak-tidaknya bisa kita lihat kalau ada dua alasan pokok kenapa kita mencari kebahagiaan di luar sana. Yang pertama karena kita telah terbiasa memaknai kata 'mencari' itu sebagai pencarian ke luar. Kedua, karena kita terlanjur menyangka kalau kebahagiaan hanya bisa ditemukan di luar sana, di antara objek-objek indria. Inilah dua alasan pokok kenapa kita cenderung mencari kebahagiaan di luar sana.

Dengan terbiasanya kita memaknai sebuah pencarian itu sebagai pencarian ke luar, 'mencari ke dalam diri' merupakan sesuatu yang benar-benar asing, bahkan tanpa makna buat kita. Bagi kita 'mencari' haruslah di luar sana, mencari sesuatu yang tidak atau belum ada di wilayah kepemilikan kita. Anggapan inilah yang memunculkan sangkaan keliru kalau kebahagiaan hanya bisa ditemukan di luar sana, yang selanjutnya kian memperkuat pemaknaan keliru bahwasanya sebuah pencarian haruslah ke luar dan ke luar.

Daripadanya, lewat berbagai kesan-kesan mental yang menyenangkan serta gairah temporer yang timbul dari kontak-kontak serta kenikmatan indriawi yang pernah dialami, pemaknaan dan sangkaan keliru itu diperkuat dan diperkuat lagi. Kita kemudian dibuat sedemikian yakinnya kalau setiap 'pencarian' memang harus ke luar, dan kebahagiaan memang ada di luar sana, di antara gelimangan objek-objek indriawi. Kita menjadi sedemikian yakinnya kalau kesenangan temporer yang timbul dari kenyamanan dan kenikmatan yang diberikan oleh objek-objek itulah kebahagiaan itu adanya; tak ada kebahagiaan lain di luar itu.

Matangnya pemaknaan dan sangkaan keliru itu membentuk pandangan keliru yang kita anut hingga saat ini. Kalaupun suatu ketika ada yang memberitahu atau mengingatkan kita akan kekeliruan kita itu, kalau tidak menolaknya, setidak-tidaknya kita akan mengalami kesulitan besar untuk bisa menerimanya. Ia telah terlanjur membentuk pandangan-hidup kita. Kita telah menjalani kehidupan seumur-hidup di atas pandangan-hidup itu; terlebih lagi kalau kita tidak menemukan adanya persoalan dengan itu.

Sebetulnya masih ada alasan pokok yang ketiga —yakni anggapan keliru bahwasanya sesuatu hanya bisa dianggap 'nyata' kalau ia 'kasat-indria', atau sejauh-jauhnya 'kasat-pikiran-perasaan', yang juga sangat mendasar sifatnya. Yang ketiga ini menopang dua alasan pokok sebelumnya sedemikian rupa, sehingga mereka saling menguatkan satu-sama-lain. Namun, hanya dengan dua alasan pokok yang sebelumnya saja, kita telah dibuat sedemikian yakinnya akan kekeliruan kita itu. Makanya, kekeliruan adalah kekeliruan hanya jika kita bisa melihat atau menyadari kekeliruan itu. Sebelumnya, ia bukanlah suatu kekeliruan; mungkin malah suatu kebenaran buat kita.