Antarkan Manusia pada Kehancuran...



Further false and material pictures are so impressed upon the sensitive minds of people that they are thrown into further states of hypnosis.... that it is not what appears that is the reality of life.

~ Baird T. Spalding.



Betapapun juga, mesti kita akui kalau kehidupan duniawi adalah kehidupan materialistik. Kita seakan-akan dipaksa demikian, dipaksa untuk jadi materialistis, karena bak terhipnotis, kita —sedemikian rupa— dibuat percaya kalau kenikmatan, kenyaman, ketenangan, rasa aman serta kesenangan hidup —yang secara keseluruhan sebut saja kama— hanya bisa dicapai melalui penguasaan dan penggunaan materi (artha). Akibatnya, karena kita juga mengelirukan bahwa kebahagiaan itu sendiri adalah terpenuhinya nafsu-keinginan (kama), dimana kita beranggapan kalau hanya dengan begitu kita bisa merasa bahagia, maka kitapun dibuat bertekuk-lutut dan dengan suka-rela mengabdi kepada artha.

Bagi kebanyakan dari kita, itulah kehidupan; karena itulah satu-satunya pri-kehidupan yang kita kenal. Kalaupun di permukaan kita terlihat melakukan berbagai aktivitas kultural dan spiritual-relijius, maka yang kita tuju, yang menjadi sasaran kita adalah itu —penguasaan artha guna pemenuhan kama. Bagi kebanyakan dari kita reliji hanyalah sekedar kendaraan guna mendapatkan semua itu, semua yang secara keliru kita anggap sebagai kebahagiaan hidup.

Hanya sesudah seseorang mengalami keterpurukan, diterpa berbagai kekecewaan hidup —akibat beranggapan keliru seperti itu— barulah ia mulai berpaling kepada spiritualitas, pada esensi dari ajaran semua agama. Bahkan, tak sedikit malah yang sudah sedemikian terpuruknya, masih saja meyakin-yakinkan diri untuk tetap hidup di biduk yang sama, bukan saja lantaran tak kenal apa itu spiritualitas, melainkan dengan pengharapan kalau-kalau suatu ketika segala sesuatunya berubah membaik, seperti halnya yang baik berubah memburuk. Mereka mencoba meyakin-yakinkan dirinya bahwa ‘badai pasti berlalu’.

Berpri-kehidupan benar jelas bukan berkehidupan dengan sepenuhnya menggantungkan kebahagiaan pada artha dan kama —tanpa sama-sekali mengenal dan menerapkan ajaran-ajaran spiritual. Justru sebaliknya; berpri-hidupan benar adalah kehidupan di atas biduk dharma, tanpa peduli dampak samping daripadanya yang berupa perolehan artha dan pemenuhan kama. Hanya kehidupan seperti inilah yang mengantarkan kepada kebebasan dan kebahagiaan sejati.

Kehidupan duniawi, ragawi —yang terus-menerus memburu pemuasan nafsu-keinginan, pemanjaan indriawi, yang juga disebut dengan kehidupan hedonis itu— hanya akan mengantarkan umat manusia kepada kehancurannya. Kenapa? Karena ia telah jatuh ke tataran terendah dari esensi keberadaannya yang sebetulnya keilahian, telah ‘dikendarai kendaraan’, ‘diperalat alat’, ‘diperbudak budak’.