Keangkuhan Spiritual = Bahaya !

Yang punya sifat angkuh, walaupun hanya punya, tahu, atau bisa sedikit saja bisa menunjukkan keangkuhannya; apalagi punya banyak, tahu dan bisa melakukan banyak hal. Dan kalau yang angkuh ini menekuni kehidupan spiritual dan berhasil menguasai kemampuan-kemampuan spiritual tertentu, bisa kita bayangkan bagaimana jadinya.

Keangkuhan fisikal —yang berhubungan dengan tubuh yang sehat-kuat, wajah yang cantik atau ganteng, postur tubuh yang proporsional dan seksi, kebugaran, wajah yang berseri-seri, dan sejenisnya— serta keangkuhan material —yang berhubungan dengan kekayaan atau penguasaan harta-benda— maupun keangkuhan intelektual —yang berhubungan dengan intelektualitas seperti: kepinteran, keakhlian, kecerdasan, dan sejenisnya— masih belum seberapa daya rusaknya dibandingkan keangkuhan spiritual ini.

Kekuatan spiritual jauh melampaui kekuatan fisikal atau material, atau bahkan intelektual. Keangkuhan spiritual, bukan saja destruktif bagi yang mengidapnya, namun juga bisa teramat sangat destruktif bagi orang-orang dan makhluk di sekitarnya. Betapa tidak kalau ia bisa saja mencelakai banyak orang dan makhluk-makhluk lain, hanya dengan “diam”, dimana ia seakan-akan tidak berbuat apa-apa.

Menyadari fakta ini, sudah sejak dahulu kala para peletak batu-pertama dan para tetua duania spiritualitas telah menetapkan ajaran etika-moral —sila atau susila— sebagai landasan dari kehidupan spiritual manapun. Seorang Guru spiritual yang baik misalnya, tidak akan gegabah dengan serta-merta melatih para siswanya dengan laku-laku spritual —yang langsung mengakibatkan terbangkitkannya kekuatan-kekuatan spiritual (siddhi-siddhi) tertentu— tanpa memastikan kwalitas etika dan moralitas para siswanya. Hanya untuk membenahi etika dan moralitasnya saja, seorang siswa pembelajar bisa menghabiskan waktu belasan hingga puluhan tahun. Dan itupun tidak berhenti sampai disitu saja; landasan etika-moral ini harus terus dipelihara seumur-hidupnya, harus dijadikan dasar-landasan si siswa spiritual di dalam menjalani seluruh kehidupannya. Makanya, kalau segala sesuatunya memang berjalan betapa mestinya, seorang spiritualis sejati manapun dapat dipastikan beretika-moral tinggi.

Bagi pembelajar spiritual yang kurang-sabaran, apalagi yang motivasi-awalnya memang hanya untuk memperoleh siddhi-siddhi saja, masa-masa penempaan etika-moral —yang bisa menghabiskan sedemikian banyak waktu ini— bisa sangat melelahkan dan membosankan —dimana ia tidak merasakan terjadinya kemajuan spiritual sedikitpun— sehingga membuatnya mengurungkan niat. Padahal, setiap penerapan satu sila dengan baik, sang siswa akan memperoleh satu siddhi halus —yang tentunya belum bisa ia rasakan, sehingga tidak ia sadari. Setidak-tidaknya, dengan menerapkan sila dalam kehidupannya, seorang siswa spiritual telah menyiapkan wadah bersih yang kian membesar, untuk menampung kucuran bukan saja berbagai siddhi tetapi juga kebijaksanaan atau prajña.

Kita tahu, keangkuhan manapun, apalagi keangkuhan spiritual, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Menyadari ini, siswa spiritual yang baik manapun semestinya tidak merasa dirinya terlalu rendah untuk menerapkan susila atau keluhuran budi ini di dalam kehidupannya.