B a n j i r

Seorang Guru mengabarkan peringatan dari Tuhan tentang banjir yang akan melanda kota. Demikian besar banjir yang akan menimpa kota sehingga seluruh penduduk kota harus diperingatkan agar mereka bersiap-siap menghadapinya. Guru mengatakan, banjir besar itu sesungguhnya adalah hukuman dan pemurnian negeri itu atas dosa-dosa yang dilakukan penduduknya.

Guru menceritakan penilaian Tuhan atas negeri dan kota itu. Para pemimpin negeri telah meminta berkat kepada para jin dan iblis. Para pemimpin agama sibuk dengan urusan kekuasaan dan mengobarkan kebencian. Pemujaan dan bakti hanya terucap di mulut dan tidak lahir dari hati. Segala jenis kejahatan dan kedurjanaan telah dilakukan penduduk negeri.

Maka bertebaranlah para murid mengabarkan penghakiman Tuhan itu. Berpencaranlah mereka menyampaikan kabar kepada saudara, tetangga, dan siapapun yang dikenalnya. Dalam kesibukan kota yang tak pernah mati, sebagian penduduk hanya melihat peringatan itu dengan sinis. Tetapi yang takut sibuk meninggikan rumah dan menyelamatkan hartanya setelah mendengar kabar dari para murid itu.

Dan guru pun meminta para murid untuk membawa keluarganya ke bukit untuk menyelamatkan diri. Dan di puncak bukit itu mereka berkumpul, bermain, dan bekerja sembari menunggu penyelamatan yang dijanjikan-Nya.

Tapi hari itu tak kunjung tiba. Awan gelap, mendung, dan hujan bercucuran,
tetapi banjir yang diperingatkan itu tak kunjung tiba. Dan kegelisahan semakin memuncak. Mereka mulai mempertanyakan kredibilitas janji Tuhan yang tak ditepati-Nya. Mereka mengkhawatirkan kredibilitas nama Tuhan. Dan mereka mencemaskan kredibilitas mereka sendiri di hadapan manusia. Kegelisahan semakin memuncak sampai akhirnya mereka tak mampu lagi menahan diri untuk tidak mencari pertanggung-jawaban atas semua yang terjadi.

Ketika guru mereka tetap diam saja tak memberikan alasan ataupun pembelaan apapun, mengadulah mereka kepada Tuhan. Tapi Tuhan justru bertanya kepada mereka, dan terjadilah dialog ini:

“Mengapa kamu mengabarkan bencana itu kepada penduduk kotamu?”

“Karena kami ingin menyelamatkan mereka dari bencana, Tuhan,” kata seorang
murid.

“Apakah mereka mendengarkan yang kalian peringatkan?”

“Tidak ya Tuhan. Sebagian besar diantara mereka tetap dalam kesibukannya dan
tak mempedulikan peringatan Tuhan yang kami sampaikan.”

“Lalu, mengapa kalian mengungsi ke tempat ini?”

“Karena kami percaya dengan peringatan-Mu, Tuhan. Karena kami mentaatimu dan mengharapkan keselamatan dari-Mu.”

“Apakah kamu sakit hati karena penolakan mereka atas peringatan yang kamu
sampaikan?”

“Tidak ya Tuhan”

“Apakah kamu menginginkan keselamatan penduduk negerimu atau kamu ingin
kebenaranmu terbukti dan dirimu dinyatakan sebagai orang yang benar?”

Suasana hening. Tak seorang pun berani menjawab. Lengang.

“Karena ketaatanmu, Kuberikan kamu berkat: Aku akan mengabulkan doamu. Kamu boleh mendoakan keselamatan penduduk negeri yang mengingkarimu. Jika kamu berdoa seperti itu, maka banjir itu Ku tunda. Tetapi kamu akan ditimpa rasa
malu yang sangat besar dan mereka akan mempertanyakan kebenaranmu.”

“Tetapi kamu dapat berdoa yang lain kepada-Ku. Kamu boleh meminta-Ku agar Aku menepati janji-Ku. Dan jika itu yang kamu lakukan, maka aku akan meluluh-lantakkan negerimu dengan banjir seperti yang telah Ku janjikan karena mereka memang layak menerima hukuman itu atas segala kedurjanaan yang mereka lakukan.”

“Pilihan ada padamu...”